TALAK, SYARAT, RUKUN DAN AKIBATNYA
DI SUSUN OLEH
NAMA : AGUS SUHERJAN
NIM :152112075
KLS : IV , D (AS)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM (2013-2014)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.....................................................................................................................
PENDAHULUAN.............................................................................................................
TALAK..............................................................................................................................
RUKUN TALAK DI BAGI MENJADI TIGA ............................................................
1. Kata-kata talak......................................................................................................
2. Suami yang menjatuhkan talak............................................................................
3. Istri yang dapat di jatuhkan talak........................................................................
Syarat Talak.......................................................................................................................
AKIBAT HUKUMNYA...................................................................................................
1.
Talak raj’i...............................................................................................................
2.
Talak bain..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
PENDAHULUAN
Sebagai umat
Islam yang bertaqwa, kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum yang
harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-laki
maupun perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan
hanyalah ketaqwaan kita.
Salah satu
dari syari’at Islam adalah tentang perkawinan, talak, cerai, dan rujuk. Keempat
hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam
Hadits Rasulullah SAW. Perkawinan merupakan peristiwa yang sering kita jumpai
dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melakukan
perkawinan.
Selanjutnya tentang masalah talak, hal ini juga tidak jarang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Kita lihat di televisi banyak para artis yang melaporkan isterinya ke KUA lantaran hal sepele, dan dengan gampangnya mengucapkan kata talak. Padahal dalam al-Qur’an sudah jelas bahwa perbuatan yang paling di benci Allah adalah talaq. dari sini jika kita menengok kejadian-kejadian yang menimpa suami isteri yang bercerai maka patut kita bertanya ada apa di balik semua itu.
Selanjutnya tentang masalah talak, hal ini juga tidak jarang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Kita lihat di televisi banyak para artis yang melaporkan isterinya ke KUA lantaran hal sepele, dan dengan gampangnya mengucapkan kata talak. Padahal dalam al-Qur’an sudah jelas bahwa perbuatan yang paling di benci Allah adalah talaq. dari sini jika kita menengok kejadian-kejadian yang menimpa suami isteri yang bercerai maka patut kita bertanya ada apa di balik semua itu.
Kita ketahui
bahwa tindak lanjut dari talak itu sendiri akan berakibat perceraian. Dan hal
itu akan menambah penderitaan dari kaum itu sendiri jika melakukan sebuah
perceraian. Tetapi hukum Islam disamping menentukan hukum juga memberikan
alternatif jalan keluar yang bisa di tempuh oleh pasangan suami Isteri jika
ingin mempertahankan hubungan pernikahan mereka. Hal itu bisa di tempuh dengan
melakukan rujuk dan menyesali perbuatan yang telah di lakukan.
TALAK
Kata talak berasal dari bahasa Arab artinya menurut
bahasa melepaskan ikatan. Adapun talak menurut istilah syariat Islam ialah
melepaskan atau membatalkan ikatan pernikahan dengan lafadz tertentu yang
mengandung arti menceraikan. Talak merupakan jalan keluar terakhir dalam suatu
ikatan pernikahan antara suami isteri jika mereka tidak terdapat lagi kecocokan
dalam membina rumah tangga.
Sebagaimana keharusan
yang mesti ada pada bentuk-bentuk akad dan transaksi yang lain, untuk keabsahan
talak juga mesti memenuhi rukun dan syarat itu, berbeda pengertiannya menurut
pakar hukum Islam, namun konsekwensi yang ditimbulkan keduanya apabila tidak
terpenuhi dalam suatu akad atau transaksi, relative sama, yaitu tidak sahnya
akad atau transaksi tersebut.
RUKUN TALAK DI BAGI
MENJADI TIGA
4. Kata-kata talak
5. Suami yang menjatuhkan talak
6. Istri yang dapat di jatuhkan talak
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai penetapan rukun talak.
Menurut ulama Hanafiyyah, rukun talak itu adalah sebagaimana yang dikemukakan
oleh al-Kasani sebagai berikut:
فركن الطلاق هو اللفظ الذي جعل دلالة على معنى الطلاق
لغة وهو التخلية والإرسال ورفع القيد الصريح وقطع الوصلة ونحوه فى الكناية أو شرعا
وهو إزالة حل المحلية فى النوعين أو ما يقوم مقام اللفظ[1]
" Rukun talak adalah lafal yang menjadi penunjukan terhadap makna
talak, baik secara etimolog iyaitu al-takhliyyah (meninggalkan atau
membiarkan), al-irsal (mengutus) dan raf al-Qayyid (mengangkat ikatan) dalam kategori
lafal-lafal lainnya pada lafal kinayah, atau secara syara' yang menghilangkan
halalnya ("bersenang-senag" dengan) isteri dalam kedua bentuknya
(raj'iy dan ba'in), atau apapun yang menempati posisi lafal"
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa rukun talak itu dalam
pandangan ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu shighah atau lafal yang menunjukkan
pengertian talak, baik secara etimologi, syar'iy maupun apa saja yang menempati
posisi lafal-lafal tersebut.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, rukun talak itu ada empat, yaitu:
1.
Orang yang berkompeten melakukannya. Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak
itu adalah suami atau wakilnya (kuasa hukumnya) ataupun wali, jika ia masih
kecil.
2.
Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak itu sengaja
membacakan lafal-lafal yang termasuk kategori lafal shrih atau lafal kinayah
yang jelas.
3.
Isteri yang dihalalkan. Maksudnya talak yang dijatuhkan itu mesti terhadap
isteri yang telah dimiliki melalui suatu pernikahan yang sah.
4. Adanya lafal,
baik bersifat sharih ataupun termasuk kategori lafal kinayah.[2]
Adapun menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah, rukun talak itu adal lima,
yaitu:
1. Orang yang
menjatuhkan talak. Orang yang menjatuhkan talak itu hendaklah seorang mukallaf.Oleh
karena itu, talak anak kecil yang belum baligh dan talak orang gila tidak
mempunyai kekuatan hukum.
2. Lafal talak.
Mengenai rukun yang kedua ini, para ulama Syafi'iyyah membaginya kepada tiga
macam, yaitu:
a. Lafal
yang diucapkan secara sharih dan kinayah. Di antara yang termasuk lafal sharih
adalah al-sarrah, al-firaq, al-thalaq dan setiap kata yang terambil dari lafal
al-thalaq tersebut. Sedangkan lafal kinayah adalah setiap lafal yang memiliki
beberapa pengertian, seperti seorang suami berkata kepada isterinya: idzhabi
(pergilah kamu) atau ukhruji (keluarlah kamu) dan lafal-lafal lain
seperti itu, sementara suami itu meniatkan menjatuhkan talaknya. Jadi menurut
mereka, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami itu baru terakad apabila di
ucapkan dengan lafal-lafal yang sharih ataupun lafal kinayah dengan
meniatkannyauntuk menjatuhkan talak.
b.
Apabila lafal talak itu tidak diucapkan, baik secara sharih maupun kinayah,
boleh saja melalui isyarat yang dipahami bermakna talak, namun menurut
kesepakatan ulama dikalangan Syafi'iyyah, isyarat tersebut baru dinyatakan sah
dan mempunyai kekuatan hokum apabila dilakukan oleh orang bisu. Menurut mereka
isyarat tersebut juga terbagi kepada sharih dan kinayah.Isyarat sharih adalah
isyarat yang dapat dipahami oleh orang banyak, sementara isyarat yang termasuk
kategori kinayah adalah isyarat yang hanya dipahami oleh sebagian orang. Penetapan dapatnya isyarat itu menggantikan
kedudukan lafal, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:
الإشارة المعهودة للأخرس كالبيان باللسان[3]
"Isyarat yang biasanya
dapat dipahami sama kedudukannya dengan penjelasan melalui lisan bagi
orang-orang bisu"
c. Talak itu
juga sudah dianggap memenuhi rukun kedua ini, apabila suami tersebut
menyerahkan (al-fawidh) kepada isterinya untuk menjatuhkan talaknya.
Misalanya seorang suami berkata kepada isterinya: Thalliqi nafsak
(talaklah dirimu), lalu apabila isterinya itu menjawab: Thallaqtu (aku
talakkan), maka talak isterinya itu telah jatuh. Sebab dalam kasus seperti itu,
isteri berkedudukan sebagai tamlik (wakil) dalam menjatuhkan talak.
Jadi dalam pandangan
ulama Syafi'iyyah , lafal atau sighah yang merupakan salah satu rukun
talak itu dapat terpenuhi melalui ucapan dengan lafal yang sharih atau kinayah,
isyarat bagi orang yang bisu baik dengan isyarat yang sharih maupun kinayah,
ataupun melalui penyerahan menjatuhkan talak yang dikuasakan oleh seorang
suami kepada isterinya.
3. Dilakukan
secara sengaja. Maksudnya, lafal talak itu sengaja diucapkan. Ulama Syafi'iyyah
mengemukakan bahwa ada lima bentuk yang dikeragui cacatnya kesengajaan, yaitu:
a. Salah
ucapan. Misalnya, seorang suami yang isterinya bernama Thariq, lalu ia
memanggilnya dengan ucapan: Ya Thaliq(wahai yang ditalak).
Kemudian suami tersebut mengatakan bahwa lidahnya terpeleset (salah ucapan)
maka talaknya tidak sah. Jadi apabila seorang suami tersalah ucapannya
sehingga kata yang keluar itu adalah kata talak atau lafal-lafal yang secara
sharih bermakna talak, maka talaknya dianggap tidak sah.
b.
Ketidak tahuan. Apabila seorang suami mengatakan: "Hai wanita yang
ditalak" kepada seorang wanita yang disangkanya isteri orang lain namun
ternyata wanita itu adalah isterinya sendiri, maka menurut pendapat Jumhur
ulama Syafi'iyyah talaknya sah. Namun apabila orang 'ajam (non arab) mengucapkan lafal talak, sementara ia
tidak memahami maksudnya maka talak itu tidak sah.
c.
Bersenda gurau. Talak yang dijatuhkan dalam keadaan bersenda gurau tidak sah
dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sebagaimana ketentuan yang berlaku pada
seluruh bentuk akad lainnya
d. Adanya unsur
paksaan. Adanya unsur keterpaksaan dapat menghalangi ke absahan seluruh bentuk tasharruf
kecuali mengislamkan kafir harbidan murtad. Oleh karena itu, talak yang
dijatuhkan oleh seorang suami dalam keadaan terpaksa tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum. Namun menurut pendapat terkuat, unsur paksaan yang
menjadikan talak itu tidak diakui keabsahannya hanya unsur paksaan yang
termasuk kategori keterpaksaan absolute seperti ancama bunuh dan lenyapnya
harta, bukan keterpaksaan relative seperti dikurung atau tidak diberi makanan.
Ketentuan tersebut berdasarkan kepada Hadits Nabi SAW berikut:
عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إن الله وضع عن أمتي الخطأ
والنسيان وما استكرهوا عليه (رواه ابن ماجة والحاكم)[4]
"Diterima dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW bahwa ia bersabda: Sesungguhnya
Allah SWT mengangkatkan dari umatku dari sifat tersalah, lupa dan apa saja yang
dipaksakan kepadanya" (H.R. Ibnu Majah dan
al-Hakim)
e. Hilang
akal pikiran disebabkan gila dan minum obat. Gilanya seseorang dapat
menghalangi keabsahan dari seluruh bentuk tasharuf. Ketentuan tersebuit
didasarkan kepada hadits Nabi SAW:
عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال رفع القلم عن
ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصغير حتى يكبر وعن المجنون حتى يعقل أو يفيق
(رواه أحمد والأربعة إلا الترمذي وصححه الحاكم وأخرجه ابن حبان)[5]
"Diterima dari Aisyah r.a., dari Nabi SAW bahwa ia bersabda:
Dibebaskan dari tiga macam orabf, yaitu dari orang yang tidur hingga ia bangun,
dari anak kecil hingga dewasa dan dari orang gila hingga ia ingat atau
sadar" (H.R. Ahmad dan
al-Arba'ah kecuali al-Tirmidzi. Hadits ini dianggap shahih oleh al-Hakim dan juga diriwayatkan oleh
Ibn Hibban)
4.
Wanita yang dihalalkan atau isteri. Apabila seorang suami menyandarkan talak
itu kepada bagian dari tubuh isternya, misalnya ia menyandarkan kepada anggota
tubuh tertentu seperti tangan, kepala, limpa atau hati, maka talaknya sah.
Namun apabila suami tersebut menyandarkan kepada fadhalat tubuhnya
seperti air liur, air susu atau air mani, maka talaknya tidak sah.
5.
Menguasai isteri tersebut. Apabila seorang suami berkata keada seorang wanita
yang bukan isterinya: Anti thalliq (kamu wanita yang ditalak), maka
talaknya tidak sah, namun apabila suami tersebut berkata kepada isterinya atau
isterinya itu masih berada dalam masa 'iddah talak raj'iy, maka
talaknyabaru dianggap sah. Bahkan menurut ulama Syafi'iyyah, apabila seorang
suami berkata kepada wanita yang bukan isterinya: In nakahtuki fa anti
thalliq (jika aku menikahimu maka kamu adalah wanita yang ditalak), maka
nikahnya juga tidak sah. Jadi menurut mereka, ucapan yang dikaitkan dengan
syaratpun juga tidak sah, sebab ketika ia mengucapkannya, wanita tersebut tidak
berada dlam kekuasaannya.[6]
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa dalam menetapkan rukun talak terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama.Menurut ulama Hanafiyyah, rukun talak itu hanya satu, yaitu
lafal yang menunjukkan makna talak, baik secara etimologi dalam kategori sharih
atau kinayah, atau secara syar', atau tafwidh (menyerahkan kepada
isteri untuk menjatuhkan talaknya).Menurut ulama Malikiyyah ada empat, yaitu
orang yang berkompeten menjatuhkan talak, ada kesengajaan menjatuhka talak,
wanita yang dihalalkan dan adanya lafal, baik sharih maupun kinayah.
Sedangka menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah rukun talak tersebut ada
lima, yaitu orang yang menjatuhkan talak, adanya lafal talak, adanya
kesengajaan menjatuhkan talak, adanya wanita yang dihalalkan dan menguasai
isteri tersebut.
Apabila diperhatikan
secara seksama, sebenarnya rukun talak yang dikemukakan oleh ulama Syafi'iyyah
dan Hanabillah iturelatif sama substansinya dengan formulasi rukun talak yang
dikemukakan oleh ulama Malikiyyah, dimana formulasi menguasai isteri yang
dikemukakan oleh ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah telah tercakup kedalam
rumusan adanya wanita yang dihalalkan yang dikemukakan ulama Malikiyyah. Oleh karena itulah, dalam sebagian literature
persoalan ini diklasifikasikan kepada pendapat Hanafiyyah dan non Hanafiyyah.[7]
Syarat Talak
Untuk keabsahan talak
yang dijatuhkan oleh seorang suami juga mesti memenuhi beberapa syarat yang
telah dikemukakan oleh para ulama, disamping beberapa rukun yang telah
dikemukakan pada pembahasan terdahulu.
Dalam menetapkan syarat-syarat yang terpenuhi untuk keabsahan talak ini
juga terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Secara umum, mereka
dapat dikelompokkan kepada Hanafiyyah dan selain Hanafiyyah.
Menurut ulama
dari kalangan Hanafiyyah, syarat-syarat talak yang mesti tdipenuhi tersebut
diklasifikasikan kepada tiga kategori, yaitu ada yang terdapat pada suami,
terdapat pada isteri dan ada terdapat pada rukun halal atau lafal itu sendiri.
1. Syarat-syarat
yang terdapat pada suami
Adapun syarat-syarat yang terdapat pada suami itu adalah:
1)
Suami mesti orang yang berakal
Oleh karena iu
orang gila dan anak kecil tidak sah talaknya, sebab keduanya tidak berakal,
sementara berakalnya seseorang merupakan syarat cakap untuk bertindak hukum.[8]
Ketentuan ini disandarkan kepada Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh
Ahmad dan al-Arba'ah kecuali al-Tarmidzi sebagai berikut:
عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال رفع القلم عن
ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصغير حتى يكبر وعن المجنون حتى يعقل أو يفيق
(رواه أحمد والأربعة إلا الترمذي وصححه الحاكم وأخرجه ابن حبان)[9]
"Diterima dari Aisyah r.a., dqari Nabi SAW bahwa ia bersabda:
dibebaskan dari tiga macam orang, yaitu dari orang tidur hingga ia bangun, dari
anak kecil hingga ia dewasa dan dari orang gila hingga ia ingat atau
sadar" (H.R. Ahmad dan
al-Arba'ah kecuali al-Tirmidzi. Hadits dianggap shahih oleh al-Hakim dan jug diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban).
Mengenai orang yang mabuk, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama
Hanafiyyah tentang apakah talknya sah atau tidak. Menurut al-Kasani, talaknya
sah sehingga mempunyaio kekuatan hokum sebagaimana dikemukakannyasebagai
berikut:
ولنا عموم قوله عز وجل الطلاق مرتان إلى قوله فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى
تنكح زوجا غيره من غير فصل بين السكران وغيره[10]
"Menurut kami (dalilnya) adalah keumuman firman Allah 'Azza Wa Jalla:
'Talak itu dua kali', sehingga firman Allah SWT: jika ia menjatuhkan talknya
maka tidak halal wanita tersebut baginya setelah itu sampai ia menikah dengan
orang lain tanpa merincikan antara orang mabuk dengan lainnya. "
Sedangkan menurut ulama
Hanfiyyah yang lain, seperti Abu Ja'far al-Thahawi, Abu al-Hasan al-karkhi,
Abu Yusuf dan Zufar, talak orang yang mabuk tersebut tidak sah, sebagaimana
yang dikutip oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah sebagai berikut:
وممن ذهب إلى القول بعدم نفوذ طلاق السكران من الحنفية أبو جعفر الطحاوي وأبو
الحسن الكرخي وحكاه صاحب النهاية عن أبي يوسف وزفر[11]
"Diantara ulama yang
berpendapat tidak berlakunya talak orang yang mabuk dari kalangan
Hanafiyyah adalah Abu Ja'far al-Thahawi dan Abu Hasan al-Karkhi. Pengarang
Kitab al-Nihayah meriwayatkan pendapat yang sama dari Abu Yusuf dan Zufar"
Al-Marghinani (Hanafiyyah) juga berpendapat bahwa talak orang yang mabuk
tidak sah sehingga tidak mempunyai kekuatan hokum, sebab ia dianggap sama
dengan keadaan orang yang hilang akal lainnya.[12]
Dalam formulasi fikih
Syafi'iyyah juga terjadi perbedaan pendapat tentang persoalan tersebut.Menurut
imam al-Syafi'ie talak orang yang mabuk tersebut sah.Ia mengemukakan
pendapatnya itu dalam kitab al-Umm, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mathriji
sebagai berikut:
طلاق السكران قال الشافعي رحمه الله فى الأم: فمن شرب خمرا أو نبيذا فاسكره
فطلق لزمه الطلاق والحدود كلها[13]
"Mengenai talak orang yang mabuk, a;-Syafi'I berkata dalam kitab
al-Umm: Siapa yang meminum khamar atau perhan buah, lalu khamar atau perahan
buah itu membuatnya mabuk, kemudian ia menjatuhkan talak, maka talak tersebut
mengikatnya sekaligus dikenakkan hudud"
Sedangkan menurut al-Muzni, Abu Suraij, Abu Sahal al-Sha'luki, sahal
sendiri dan Abu Thahir al-Ziyadi talaknya tidak sah, sebagaimana dikemukakan
oleh Mahmud Mathriji sebagai berikut:
وممن قال لا يقع طلاقه المزني وأبو سريح سهل الصعلوكي وابنه سهل وأبو طاهر
الزيادي[14]
"Diantara ulama yang berpendapat tidak jatuh talaknya adalah al-Muzni,
Abu Suraij, Abu Shahal al-Sha'luki, anaknya Shahal dan Abu Thahir
al-Ziyadi."
Adapun menurut ulama dari kalangan Hanabillah, talak orang yang mabuk juga
tidak sah.Memang ditemukan riwayat yang menjelaskan bahwa Imam Ahmad pernah
berpendapat bahwa tlak orang mabuk itu tidak sah dan berlaku namun menarika
kembali pendapatnya itu.[15] Pendapat mereka yang menyatakan tidak sahnya talak
orang mabuk itu, sebagaiman dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah sebagai
berikut:
والصحيح أنه لا عبرة باقواله من طلاق ولا عتاق ولا بيع ولا هبة ولا وقف ولا
ردة ولا إقرار[16]
"Pendapat yang shahi adalah bahwa sesungguhnya (orang yang mabuk) itu
tidak dipandang perkataannya pada masalah talak, memerdekakan budak, melakukan
transaksi jual beli, hibah, wakaf, riddah-nya dan tidak pula pengakuannya"
Menurut ulama Malikiyyah, apabila orang mabuk menjatuhkan talak isterinya
maka talak tersebut sah dan karenanyan mempunyai kekuatan hokum sekaligus
membawa implikasi hukum.[17]
Talak orang yang
dipaksa dianggap sah menurut ulama hanafiyyah sebagaimana dikemukakan oleh
al-Kasani sebagai berikut:
وأما كون الزوج طائعا فليس بشرط عند أصحابنا وعند الشافعي شرط حتى يقع طلاق
المكره عندنا وعنده لا يقع[18]
"Adapun mengenai keadaan
suami tidak terpaksa, menurut sahabat kami bukanlah merupakan syarat. Oleh
karena itu, talak orang yang dipaksa sah menurut kami, sedangkan menurut
(al-Syafi'i) sah"
Berbeda dengan pendapat ulama Hanafiyyah diatas, jumhur ulama berpendapat
bahwa talak orang yang dipaksa tersebut tidak sah dank arena tidak mempunyai
kekuatan hukum.[19]
Berbeda dengan pendapat
jumhur ulama juga, ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa keberadaan sehatnya suami
dan islamnya suami tidak termasuk salah satu syarat keabsahan talak. Oleh karena itu, talak orang yang sakit dan
orang kafir tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum.[20]
Selain itu, para ulama
dari kalanga Hanafiyyah juga berbeda pendapat dengan jumhur ulama tentang
adanya unsure kesengajaan sebagai syarat ke absahan talak.Menurut ulama
hanafiyyah adanya unsure kesengajaan tidak termasuk syarat, sebagaimana halnya
pendapat jumhur ulama.Oleh karena itu, menurut ulama hanafiyyah, apabila suami
tersebut tersalah sehingga mengucapkan lafal talak, mak talaknya sah.Begitu
juga sah talaknya, menurut mereka orang yang bersenda gurau dan orang yang
bermain-main.[21] Dasarnya adalah hadis berikut:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث جدهن جد وهزلهن جد
النكاح والطلاق والرجعة (رواه الترمذي وأبو داود وابن ماجة ودارقطني)
Dari Abi Hurayrah, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah SAW: ‘Tiga hal
yang sengaja berakibat mengikat dan main-mainnya juga berakibat mengikat, yaitu
nikah, talak dan ruju’. (HR. Al-Turmudziy,
Abu Dawud, Ibn Majah, dan Daruquthniy)
2) Suami itu tidak
dungu, bingung, pitam ataupun sedang tidur.[22]
Dasar hokum tidak sahnya talak orang dungu dan bingug tersebut adalah
hadits Nabi SAW berikut:
كل طلاق جائز إلا طلاق الصبي والمعتوه
"Setiap talak boleh
kecuali talak anak kecil dan orang bodoh"
Sedangkan dasar hokum tidak sahnya talak orang pitam dan orang tidur itu
adalah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Arba'ah selain
al-Tirmidzi, sebagaimana yang telah penulis kemukakan terdahulu, yang menjelaskan
bahwa ada tiga kelompok orang yang dibebaskan dari dosa, yaitu: a) Orang tidur
hingga bangun, b) anak kecil hingga dewasa dan c) Orang gila hingga ia sembuh
3) Suami itu telah
Baligh.[23]
Oleh karena itu, apabila anak kecil menjatuhkan talak maka talknya tidak
sah.Ketentuan ini didasarkan kepada dua buah hadits diatas.
4) Suami itu mesti
meniatkan untuk menjatuhkan talak, jika ia menjatuhkan talak melalui lafal kinayah.[24]
Sebenarnya untuk
persyaratan ini seluruh ulama mensyaratkannya,[25]
namun terjadi perbedaan pendapat yang cukup prinsipil antara ulama Syafi'iyyah
dan ulama Hanafiyyah tentang penetapan lafal-lafal yang termasuk kategori kinayah
tersebut.
Menurut ulama
Syafi'iyyah . lafal "al-sarrah" dan "alfiraq" termasuk
kategori lafal sharih-selain lafal "al-thalaq" itu sendiri sehingga
apabila dua lafal diatas diucapkan oleh seorang suami kepada isterinya maka
talaknya sah tanpa memerlukan niat. Alas an mereka adalah karena tiga lafal tersebut-al-thalaq, al-sarrah,
dan alfiraq, disebutkan dalam Al-Quran[26]dan oleh karenanya diakui oleh syara'.
Sedangkan menurut ulama
hanafiyyah lafal "al-sarrah" dan "'al-Firaq"
tidak termasuk lafal sharih.Menurut mereka, lafal sharih itu hanya satu, yaitu
"al-Thalaq". Oleh karena kedua lafal tersebut merupakan lafal
kinayah menurut ulama Hanafiyyah, maka apabila diucapkan oleh seorang suami
kepada isterinya, mesti ada niat dari suaminya untuk keabsahan talak tersebut,
alas an mereka adalah karena kedua lafal tersebut, meskipun digunakan oleh
syar'I dalam Al-Quran, dipakaikan juga kepada kata lain, selain untuk
melepaskan ikatan perkawinan.[27] Sedangkan pengertian lafal sharih menurut mereka
adalah:
هو اللفظ الذي لا يستعمل إلا فى الطلاق عن قيد النكاح[28]
"Lafal sharih adalah
lafal yang tidak digunakan, kecuali untuk pengertian untuk melepaskan ikatan
pernikahan"
2.
Syarat-syarat yang terdapat pada wanita adalah bahwa wanita tersebut adalah
miliknya atau masih berada dalam masa 'iddah talak. Oleh karena itu, apabila
seorang laki-laki menjatuhkan talak kepada wanita yang bukan isterinya atau
tidak berada dalam masa 'iddah maka talaknya tidak sah.[29]
Ketentuan ini berdasarkan kepada hadits Nabi SAW, di antaranya adalah:
عن عمرو بن سعيب عن أبيه عن جده قال قال رسول الله ص.م لا نذر لابن آدم فيما
لا يملك ولا عتق له فيما لا يملك ولا طلق له بيما لا يملك (أخرجه أبوا داود
والترمذي وصححه ونقل عن البخاري أنه أصح ما رواه فيه)[30]
"Diterima dari 'Amru Bin Syu'aib, dari Bapaknya dari kakeknya, ia
berkata bahwa Nabi SAW pernah bersabda: Tidak ada (kewajiban menunaikan) nadzar
bagi anak adam (manusia) terhadap nadzar yang tidak ia miliki, tidak ada
kemerdekaan budak baginya terhadap apa yang tidak ia miliki dan tidak ada talak
baginya terhadap apa yang tidak ia miliki" (H.R. Abu Daud dan al-Tirmidzi men-shahih-kannya dinukilkan dari
al-Bukhari bahwa hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang topic ini)
3.
Syarat-syarat yang terdapat pada rukun itu sendiri, yaitu lafal yang
menunjukkan makna talak.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Lafal
tersebut tidak diiringi oleh istitsna' (pengecualian), baik pengecualian
tersebut bersifat wadh'I maupun 'urfiiy.[31] Demikian menurut mayoritas ulama, kecuali Imam
Malik yang menolerir pengecualian yang menggunakan huruf istitsna' seperti: dan
lain-lain, sedangkan pengcualian yang bersifat 'urfi adalah pengecualian yang
tidak menggunakan huruf istitsna' namun mengaitkannya dengan kehendak Allah SWT
(menggunakan kalimat إن شاء الله).[32]
b. Lafal tersebut
tidak ada madhrub fih. Apabila ada Madhrub fih maka tidak jatuh dan yang jatuh
hanya madhrub saja menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad.Sedang menurut
Zufar, tidak adanya madhrub fih bukan syarat. Oleh karena itu menurutnya,
apabila dalam kalimat yang menjatuhkan talak itu ada madhrub fihnya maka jatuh
talak sesuai madhrub dan madhrub fih, misalnya seorang suami berkata kepada
isterinya:أنت طالق واحدة فى ثلاث
وأنت طالق واحدة فى الثنتين atau
أنت طالق اثنتين ف الثنتين (Kamu ditalak satu
kali dua, kamu ditalak satu kali tiga atau kamu ditalak dua kali dua). Namun
contoh diatas, madhrub fihnya adalah اثنتين, ثلاثdan اثنتين.[33]Jadi
apabila seorang suami menjatuhkan talak isterinya dengan kalimat seperti
diatas, maka menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad talaknya tidak
sah.Namun menurut zufar talaknya sah sehingga pada contoh pertama talaknya
jatuh 2 (1 x 2), pada contoh kedua talknya jatuh 3 (1 x 3) dan pada contoh
ketiga talaknya jatuh 4 (2 x 2).Adapun menurut ulama Syafi'iyyah, hukumnya
tergantung kepada yang diniatkannya.[34]
c.
Syarat yang terdapat pda waktu, yaitu berlalu masa Ila' yang mana masa
tersebut (Empat Bulan) merupakan syarat terjadinya talak dengan cara ila' dan
talak tidak jatuh sebelum habis masa itu.[35]
Demikianlah
syarat-syarat yang mesti terpenuhi untuk kebiasaan talak yang dijatuhkan oleh
seorang suami kepada isterinya, disamping mestinya terpenuhi rukun talak itu,
menurut para ulama dari kalangan Hanfiyyah sehingga talak yang dijatuhkan
tersebut mempunyai kekuatan sekaligus implikasi hokum.
Adapun menurut jumhur
ulama, disyaratkan pada setiap rukun talak yang telah mereka kemukakan itu
beberapa syarat sebagai berikut:
a.
Syarat-syarat yang terdapat pada orang yang menjatuhkan talak adalah:
Orang yang menjatuhkan talak tersebut mesti mempunyai hubungan pernikahan
dengan orang yang menjatuhkan talaknya.[36]Maksudnya,
talak itu dijatuhkan oleh seorang suami kepada isterinya. Adapun dasrnya adalah
Hadits Nabi SAW berikut:
عن جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله ص.م لا طلق إلا بعد نكاح ولا عتق إلا
بعد ملك (رواه ابن مادة)[37]
"Diterima dari Jabir r.a dia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah
bersabda: Tidak ada talak kecuali setelah ada pernikahan dan tidak ada
memerdekakan budak kecuali setelah ada pemiliknya" (H.R., Abu Ya'la
dan Hakim men-shahihkan-nya)
Suami tersebut mesti orang yang mukallaf.Oleh karena itu, tidak sah talak
yang dijatuhkan oleh orang gila dan anak kecil, baik yang belum mumayyiz maupun
yang telah mumayyiz. Hanya ulama Hanabillah yang menyatakan sahnya talak
mumayyiz walaupum umurnya belum sampai 10 tahun
Jumhur ulama juga
sepakat berpendapat bahwa ikhtiyar-nya suami termasuk keabsahan talak.Oleh
karena itu, talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan terpaksa tidak sah. Disamping itu, khusus ulama malikiyyah
mensyaratkan suami mesti seorang muslim.
Talak yang dijatuhkan
oleh suami yang berada dalam keadaan sangat marah juga tidak sah dan karenanya
tidak mempunyai kekuatan sekaligus implikasi hokum.[38]
b.
Syarat yang terdapat pada adanya unsure kesengajaan adalah bahwa suami
meniatkan untuk menjatuhkan talak apabila ia tidak mengucapkan lafaz talak yang
termasuk dalam kategori sharih.[39]
c.
Syarat yang terdapat pada tempat menjatuhkan talak atau isteri adalah bahwa
isteri tersebut memang benar isteriny bukan isteri orang lain walaupun belum
disetubuhi, atau isterinya tersebut masih berada dalam masa 'iddah talak raj'iy.
sebab talak raj'iy tidak menghilangkan ikatan pernikahan, kecuali
'iddahnya habis.[40]
d.
Syarat yang terdapat pada al-wilayah 'ala mahal al-thalaq, (menguasai tempat
menjatuhkan talak) yang dikemukakan oleh ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah.
Perlu penulis jelaskan
disini bahwa syarat ini menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah berfungsi
untuk menjelaskan furu' dari rukun yang ketiga terdahulu, yaitu mahal
al-thalaq. Maksudnya syarat ini menjelaskan hukum menjatuhkan talak kepada
wanita yang bukan isterinya, dimana talaknya sebelum laki-laki tersebut
menikahinya berbeda kejadiannya setelah ia menikahinya. Dalam formulasi fikih para fuqaha meletakkan
pembahasan ini dalam thema pengaitan talak atas kepemilikan.
Jadi menurut ulama
Syafi'iyyah dan ulama Hanabilah, apabila seorang laki-laki berkata kepada
seorang wanita: إن تزوجتك فأنت طالق(jika aku menikahimu maka engkau tertolak),
maka talaknya tidah sah. Sebab laki-laki tersebut tidak menguasai wanita itu, dan karenanya tidak
memenuhi rukun ke-empat ini.
Sedangkan ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah yang tidak menjadikan poin ini
menjadi rukun, berpendapat lain tentang pengaitan talak atas kepemilikan
tersebut. Menurut ulama Hanafiyyah, talaknya jatuh jika laki-laki itu menikahi
wanita tersebut. Sementara ulama Malikiyyah berpendapat, apabila laki-laki itu
mengucapkan lafal tersebut secara umum kepada seluruh wanita seperti pada
contoh di atas maka talaknya tidah jatuh, namun jika ia mengkhususkannya
seperti laki-laki itu tersebut berkata: كل امرأة أتزوجها من بني فلان أو من بلد كذا فهي طالق(setiap wanita yang aku
nikahi dari Bani Fulan atau dari negeri anu maka ia tertalak), maka jatuh
talaknya.[41]Adapun
alasan pembedaan antara lafal yang bersifat umum dan khusus oleh ulama
Malikiyyah itu adalah istihsan bi al-mashlahah.[42]
4. Syarat yang
trdapat pada lafal adalah:
a.
menggunakan lafal yang bermakna talak, baik secara etimologi maupun 'urfi
atau baik melalui tulisan maupun isyarat yang dapat difahami.
b. orang yang
menjatuhkan talak itu memahami makna lafal itu.
c. lafal
talak itu disandarkan kepada istrinya dalam kalimat.[43]
AKIBAT HUKUMNYA
Talak adalah menghilangkan atau memutuskan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya
Macam-macam talak:
1. Talak raj’i
Talak raj’i yaitu talak dimana suami masi mempunyai hak untuk merujuk kembali isterinya
Kategori talak raj’i adalahsebagai berikut:
a. Talak mati, tidak hamil
b. Talak hidup dan hamil
c. Talak mati dan hamil
d. Talak hidup dan tidak hamil
e. Talak hidup dan belum haid
2. Talak bain
Talak bain adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungnan suami isteri. Talak bain terbagi menjadi dua bagian:
a. Talak bain shugra, ialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada isteri bekas isterinya itu.
Yang termasuk dalam talak bain shugra ialah:
- Talak yang dijatuhkan suaminya pada isteri yang belum terjadi dukhul(setubuh)
- Khulu’
Hukum talak bain shugra:
- Hilangnya ikatan nikah antara suami dan isteri
- Hilangnya hak bergaul bagi suami isteri termasuk berkhalwat (menyendiri berdua-duaan)
- Masing-massing tidak saling mewarisi manakala meninggal
- Bekas isteri, dalam masa idah, berhak tinggal di rumah suaminya dengan berpisah tempat tidur dan mendapat nafkah
- Rujuk dengan akat dan mahar yang baru
b. Talak bain kubra,
Adalah talak yang mengakibatkan hilangnnya hak rujuk pada bekas isteri, walaupun kedua bekas suami isteri itu ingin melakukannya, baik di waktu idah atau sesudahnya. Yang termasuk talak bain kubra adalah segala macam talak yang mengandung unsur-unsur sumpah.
Hukum talak bain kubra
1. Sama dengan hukum talak bain shugra nomor 1, 2, dan 4.
2. Suami haram kawin lagi dengan istrinya, kecuali bekas istri telah kawin dengan laki-laki lain.
Talak adalah menghilangkan atau memutuskan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya
Macam-macam talak:
1. Talak raj’i
Talak raj’i yaitu talak dimana suami masi mempunyai hak untuk merujuk kembali isterinya
Kategori talak raj’i adalahsebagai berikut:
a. Talak mati, tidak hamil
b. Talak hidup dan hamil
c. Talak mati dan hamil
d. Talak hidup dan tidak hamil
e. Talak hidup dan belum haid
2. Talak bain
Talak bain adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungnan suami isteri. Talak bain terbagi menjadi dua bagian:
a. Talak bain shugra, ialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada isteri bekas isterinya itu.
Yang termasuk dalam talak bain shugra ialah:
- Talak yang dijatuhkan suaminya pada isteri yang belum terjadi dukhul(setubuh)
- Khulu’
Hukum talak bain shugra:
- Hilangnya ikatan nikah antara suami dan isteri
- Hilangnya hak bergaul bagi suami isteri termasuk berkhalwat (menyendiri berdua-duaan)
- Masing-massing tidak saling mewarisi manakala meninggal
- Bekas isteri, dalam masa idah, berhak tinggal di rumah suaminya dengan berpisah tempat tidur dan mendapat nafkah
- Rujuk dengan akat dan mahar yang baru
b. Talak bain kubra,
Adalah talak yang mengakibatkan hilangnnya hak rujuk pada bekas isteri, walaupun kedua bekas suami isteri itu ingin melakukannya, baik di waktu idah atau sesudahnya. Yang termasuk talak bain kubra adalah segala macam talak yang mengandung unsur-unsur sumpah.
Hukum talak bain kubra
1. Sama dengan hukum talak bain shugra nomor 1, 2, dan 4.
2. Suami haram kawin lagi dengan istrinya, kecuali bekas istri telah kawin dengan laki-laki lain.
DAFTAR PUSTAKA
'Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i' wa al-Shana`i',
(Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Juz 3, h. 98
Menurut Ibn Juza (ulama
Malikiyah), rukun talak ada tiga, yaitu al-muthalliq (suami), al-muthallaqah
(isteri, dan al-shighah (lafal atau yang menempatinya secara hukum), Lihat
dalam: Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus,
Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 361-362
Muhammad al-Zarqa`, Syarh
al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, (Damaskus, Dar al-Qalam, 1996), cet. Ke-4, h. 351
Muhammad Ibn Isma'il
al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillaħ al-Ahkâm,
(Bandung: Dahlan, t.th.), h. 176. Lihat juga: Muhammad Fu`ad 'Abd al-Baqiy, Sunan
Ibn Majah, (Beirut: al-Maktabah al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 1, h. 659
Al-Kahlaniy, ibid., h. 180-181. Lihat juga: al-Baqiy, ibid.,
h. 658
Muhammad bin Muhammad
Abi Hamid al-Ghazaliy, al-Wajiz fi Fiqħ Madzhab al-Imâm al-Syâfi'iy,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 286-289. Lihat juga: Al-Sayyid Abi Bakr
(al-Sayyid al-Bakr), I'ânât al-Thâlibîn, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats
al-'Arabiy, t.th.), Jilid 4, h. 2
Abdurrahman al-Jaziriy,
al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 4, h.
280. Bandingkan dengan al-Zuhayliy, op.cit., h. 264
Syams al-Din Abi
'Abdillah Muhammad Ibn Abi Bakr (Ibn Qayyim al-Jawziyyah), I'lam
al-Muwaqi'in Rabb al-'Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), Juz 2, h. 49.
Lihat juga: al-Zuhayliy, op.cit., h. 366
Burhan al-Din Abi
al-Hasan 'Ali Ibn Abi Bakr 'Abd al-Jalil al-Rasyidaniy al-Marghinaniy, al-Hidayah
Syarh Bidayat al-Mubatadi`, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990), Juz
1, h. 251
Mahmud Mathrajiy, al-Majmû'
Syarh al-Muhadzdzab al-Imâm al-Nawawiy, (Beirut: dar al-Fikr, 2000), Juz
18, h. 192. Bandingkan dengan al-Jawziyyah, loc.cit.
Mathrajiy, ibid.,
h. 191-192. Di samping ulama-ulama di atas, juga termasuk dalam kelompok ini
adalah al-Jawziyyah, ibid.
Ibn Taymiyyah, al-Ikhtiyariyat
al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 254
Al-Jawziyyah, loc.cit.
Lihat juga: 'Abdillah Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Thayyar dan Muhamamd Ibn Musa
Ibn 'Abdillah al-Musa, Fatawa al-Thalaq, (Riyadh: Dar al-Wathan, 1417
H), Juz 1, h. 30
http://fikihonline.blogspot.com/2010/04/rukun-dan-syarat-talak.html
[1]Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i'
wa al-Shana`i', (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Juz 3, h. 98
[2]Menurut Ibn Juza (ulama
Malikiyah), rukun talak ada tiga, yaitu al-muthalliq (suami), al-muthallaqah
(isteri, dan al-shighah (lafal atau yang menempatinya secara hukum), Lihat
dalam: Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus,
Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 361-362
[3]Muhammad al-Zarqa`, Syarh
al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, (Damaskus, Dar al-Qalam, 1996), cet. Ke-4, h. 351
[4]Muhammad Ibn Isma'il al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm
min Adillaħ al-Ahkâm, (Bandung: Dahlan, t.th.), h. 176. Lihat juga:
Muhammad Fu`ad 'Abd al-Baqiy, Sunan Ibn Majah, (Beirut: al-Maktabah
al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 1, h. 659
[5]Al-Kahlaniy, ibid., h. 180-181. Lihat
juga: al-Baqiy, ibid., h. 658
[6]Muhammad bin Muhammad Abi Hamid al-Ghazaliy, al-Wajiz fi Fiqħ Madzhab
al-Imâm al-Syâfi'iy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 286-289. Lihat juga:
Al-Sayyid Abi Bakr (al-Sayyid al-Bakr), I'ânât al-Thâlibîn, (Beirut: Dar
Ihya` al-Turats al-'Arabiy, t.th.), Jilid 4, h. 2
[7]Abdurrahman al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1990), Juz 4, h. 280. Bandingkan dengan al-Zuhayliy, op.cit.,
h. 264
[8]Al-Kasaniy, op.cit.,
h. 99
[9]Al-Kahlaniy, op.cit.,
h. 180-181. Lihat juga al-Baqiy, op.cit., h. 658
[10]Al-Kasaniy, op.cit., h. 99
[11]Syams al-Din Abi 'Abdillah Muhammad Ibn Abi Bakr (Ibn Qayyim al-Jawziyyah),
I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-'Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), Juz 2,
h. 49. Lihat juga: al-Zuhayliy, op.cit., h. 366
[12]Burhan al-Din Abi
al-Hasan 'Ali Ibn Abi Bakr 'Abd al-Jalil al-Rasyidaniy al-Marghinaniy, al-Hidayah
Syarh Bidayat al-Mubatadi`, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990), Juz
1, h. 251
[13]Mahmud Mathrajiy, al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab al-Imâm al-Nawawiy,
(Beirut: dar al-Fikr, 2000), Juz 18, h. 192. Bandingkan dengan al-Jawziyyah, loc.cit.
[14] Mathrajiy, ibid.,
h. 191-192. Di samping ulama-ulama di atas, juga termasuk dalam kelompok ini
adalah al-Jawziyyah, ibid
[15]Ibn Taymiyyah, al-Ikhtiyariyat
al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 254
[16]Al-Jawziyyah, loc.cit.
Lihat juga: 'Abdillah Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Thayyar dan Muhamamd Ibn Musa
Ibn 'Abdillah al-Musa, Fatawa al-Thalaq, (Riyadh: Dar al-Wathan, 1417
H), Juz 1, h. 30
[17]Mathrajiy, loc.cit.
[18]Al-Kasaniy, op.cit., h. 100. Lihat juga:
al-Marghinaniy, op.cit., h. 250
[19]Al-Zuhayliy, op.cit., h. 100. Lihat juga: al-Marghinaniy, op.cit.,
h. 250
[20]Al-Kasaniy, op.cit.,
h 100
[25]Al-Zuhayliy, op.cit.,h.
381-382
[26]Lafal "al-thalâq" dan "al-sarrah"
terdapat dalam ayat 231 surat al-Baqaraħ [2]. Sedangkan lafal "al-firaq"
terdapat dalam surat al-Thalâq [65] ayat 2.
[27]Lafal "al-sarrah" seperti: sarrahtu ibiliy (aku
melepaskan untaku), sedang lafal "al-firaq" seperti: fâraqtu
shadiqiy (aku berpisah dengan temanku)
[28]Al-Kasaniy, op.cit., h. 106
[30]Al-Kahlaniy, loc.cit.
[31]Sebagian ulama Hanafiyyah menamakan dua bentuk istitsna` itu dengan
istitsna` tahshil dan istitsna` ta'thil. Al-Kasaniy, ibid., h. 154
[34]Al-Ghazaliy, op.cit.,
h. 291
[35]Al-Kasaniy, op.cit.,
h. 161
[36]Al-Zuhayliy, op.cit., h. 264
[37]Al-Baqiy, op.cit., h. 660
[38]Al-Zuhayliy, op.cit., h. 365
[42]Istihsan adalah: "Dalil yang menyalahi qiyas yang zhahir yang
didahului prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu, namun
setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang
berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu, ternyata bahwa dalil yang
menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan. Lihat: Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Qacana Ilmu, 1999), Jilid 2, h.
307. Adapun macam-macam istihsan adalah: Istihsan bi al-nash, istihsan bi al-mashlahah,
istihsan bi al'urf dan istihsan bi al-dharurah. Lihat: Nasrun Haroen, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), Jilid 1, h. 105-108
[43]Al-Zuhayliy, op.cit.,
h. 378-380